“Malu Menurut al-Quran dan
as-Sunnah”
Menurut bahasa berarti perubahan, kehancuran
perasaan atau duka cita yang terjadi pada jiwa manusia karena takut di cela.
Adapun asal kata al-hayaa u (malu) berasal dari kata al-hayaatu (hidup), juga
berasal dari kata al-hayaa (air hujan).Sedangkan menurut istilah adalah akhlaq
yang sesuai dengan sunnah yang membangkitkan fikiran untuk meninggalkan perkara
yang buruk sehingga akan menjauhkan manusia dari kemaksiatan dan menghilangkan
kemalasan untuk menjalankan hak Allah.Makna tersebut dijelaskan dalam hadits
Nabi shollallahu’alaihi wassallam, “Sesungguhnya termasuk yang didapati manusia
dari perkataan para nabi terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu maka
lakukanlah sekehendakmu’”
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ
لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa
malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin
Hushain)
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ قَالَ
أَوْ قَالَ الْحَيَاءُ كُلُّهُ خَيْرٌ
Rasulullah
bersabda, “Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya atau rasa malu seluruhnya
adalah kebaikan.” (HR. Muslim)
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Iman itu terdiri dari 70 sekian atau 60
sekian cabang. Cabang iman yang paling utama adalah ucapan la ilaha illalloh.
Sedangkan cabang iman yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari tempat
berlalu lalang. Rasa malu adalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Suatu ketika Nabi menjumpai seorang yang sedang
mencela saudaranya karena dia sangat pemalu, Nabi lantas bersabda, “Biarkan dia
karena rasa malu itu bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut
penuturan Imam Ibnul Qoyyim, alhaya’ (rasa malu) diambil dari kata-kata hayat
(kehidupan). Sehingga kekuatan rasa malu itu sebanding lurus dengan sehat atau
tidaknya hati seseorang. Berkurangnya rasa malu merupakan pertanda dari matinya
hati dan ruh orang tersebut. Semakin sehat suatu hati maka akan makin sempurna
rasa malunya.Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk
meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang
memiliki hak.
Rasa malu itu ada dua macam. Yang pertama adalah
rasa malu kepada Allah. Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya
sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Yang kedua adalah
rasa malu dengan sesama manusia.Untuk rasa malu dengan kategori pertama, Nabi
jelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”.
“Kami sudah malu duhai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,
لَيْسَ
ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ
وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ
الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ
اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Bukan
demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah
menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan
anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan
hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan
kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa
malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan
karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam
Shahih Jami’ Shaghir no. 935).Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda
memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak
digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang
angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat serta larut
dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.
Rasa malu yang kedua adalah malu dengan sesama
manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan
yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui
kekurangan yang dia miliki.
Rasa
malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk
dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk
menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika
bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai.
Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan
dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul
Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan
hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya
mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.Rasa malu kepada Allah adalah
termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling
puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan
memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini
bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).Orang yang memiliki rasa malu dengan
sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk
yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba,
menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan
tindakan maksiat dan keburukan.Rasa takut kepada Allah mencegah kerusakan sisi
batin seseorang. Sedangkan rasa malu dengan sesama berfungsi menjaga sisi
lahiriah agar tidak melakukan tindakan buruk dan akhlak yang tercela. Karena
itu orang yang tidak punya rasa malu itu seakan tidak memiliki iman. Nabi
bersabda, “Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui banyak
orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka
berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari).Makna hadits, jika orang itu sudah
tidak lagi memiliki rasa malu maka dia akan berbagai perilaku buruk yang dia
inginkan. Ini dikarenakan rasa malu yang merupakan faktor penghalang berbagai
tindakan buruk tidak lagi terdapat pada diri orang tersebut. Siapa yang sudah
tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan
kemungkaran.
Nabi
bersabda,
الحياء
و الإيمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع الآخر
“Rasa
malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain
juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ’shahih menurut
kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga
dinilai shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)
Salman al Farisi mengatakan,
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ
فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا
لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ
مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ
إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ
لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا
نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ
“Sungguh
jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan
rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya
maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah
murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. Jika dia
sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka
berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya.
Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk.
Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”kata-kata di atas ada yang
menganggapnya sebagai sabda Nabi karena jika dinisbatkan kepada Nabi maka
berstatus sebagai hadits palsu, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar.
Lihat Silsilah Dhaifah karya al Albani no. 3044.
Ibnu Abbas mengatakan,
الحياء
والإيمان في قرن ، فإذا سلب أحدهما اتبعه الآخر
“Rasa
malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti
oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath secara marfu’ dari Ibnu
Abbas no. 8548. Namun riwayat yang marfu’ ini dinilai sebagai hadits palsu oleh
al Albani dalam Dhaif Jami’ no 1435).Hadits dan perkataan dua orang sahabat
Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu
tidak memiliki faktor pencegah untuk melakukan keburukan. Dia tidak akan
sungkan-sungkan untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa.
Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan kata-kata yang buruk.Oleh karena
itu di zaman ini, suatu zaman yang rasa malu sudah berkurang bahkan hilang bagi
sebagian orang, kemungkaran merajalela, hal-hal yang memalukan dilakukan dengan
terang-terangan bahkan keburukan dinilai sebagai sebuah kebaikan. Bahkan
sebagian orang merasa bangga dengan perbuatan tercela dan hina sebagaimana
artis yang suka buka-bukaan atau sexy dancer. Wal’iyadu billah…
0 komentar:
Posting Komentar