Daerah
Malang merupakan peradaban tua yang tergolong pertama kali muncul dalam
sejarah Indonesia yaitu sejak abad ke 7 Masehi.
Peninggalan yang lebih
tua seperti di Trinil (Homo Soloensis) dan Wajak - Mojokerto (Homo
Wajakensis) adalah bukti arkeologi fisik (fosil) yang tidak menunjukkan
adanya suatu peradaban.
Peninggalan purbakala disekitar wilayah Kota Malang seperti Prasasti Dinoyo (760 Masehi),Candi Badut, Besuki, Singosari, Jago, Kidal dan
benda keagamaan berasal dari tahun 1414 di Desa Selabraja menunjukkan
Malang merupakan pusat peradaban selama 7 abad secara kontinyu.
CANDI BADUT |
- Malang merupakan wilayah kekuasaan 5 dinasti yaitu Dewasimha / Gajayana (Kerajaan Kanjuruhan), Balitung / Daksa / Tulodong Wawa (Kerajaan Mataram Hindu), Sindok / Dharmawangsa / Airlangga / Kertajaya (Kerajaan Kediri), Ken Arok hingga Kertanegara (Kerajaan Singosari), Raden Wijaya hingga Bhre Tumapel 1447 - 1451 (Kerajaan Majapahit).
MASA KERAJAAN KANJURUHAN
Kerajaan
Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan Dinoyo Kota
Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan ini
adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti
Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari (5 Km. sebelah Barat Kota Malang), di
kawasan Kampus III Universitas Muhammadiyah saat ini. Prasasti Dinoyo
merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno dan
bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lain
adalah cara penulisan tahun berbentuk Condro Sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka)atau tahun 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut :
- Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja yang sakti dan bijaksana dengan nama Dewasimha
- Setelah Raja meninggal digantikan oleh puteranya yang bernama Sang Liswa
- Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga Istana besar bernama Kanjuruhan
- Sang Liswa memiliki puteri yang disebut sebagai Sang Uttiyana
- Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketentraman diseluruh negeri
- Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya
- Bersama Raja dan para pembesar negeri Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit
- Raja melihat Arca Agastya dari kayu Cendana milik nenek moyangnya
- Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam yang elok
Salah satu
Arca Agastya ada di dalam kawasan Candi Besuki yang saat ini tinggal
pondasinya saja. Bukti lain keberadaan Kerajaan Kanjuruhan adalah Candi
Badut yang hingga kini masih cukup baik keadaannya serta telah mengalama
renovasi dari Dinas Purbakala. Peninggalan lain adalah Patung Dewasimha
yang berada di tengah Pasar Dinoyo saat ini.
MASA KERAJAAN MATARAM HINDU
Keturunan Dewasimha dan Gajayana mundur sejalan dengan munculnya dinasti
baru di daerah Kediri yaitu Balitung, Daksa, Tulodong dan Wawa yang
merupakan keturunan Raja Mataram Hindu di Jawa Tengah. Balitung (898 -
910) adalah Raja Mataram pertama yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Dinasti ini memusatkan kekuasaannya di daerah Kediri yang lebih
dekat ke Jawa Tengah dibandingkan dengan bekas pusat kekuasaan Kerajaan
Kanjuruhan di Malang. Pada masa ini Malang hanyalah sebuah wilayah yang
tidak begitu penting kedudukannya.
MASA KERAJAAN KEDIRI, DAHA DAN JENGGALA
Dinasti berikutnya yang menguasai Kediri setelah kemunduran Mataram
Hindu adalah keturunan Sindok, Dharmawangsa, Airlangga dan terakhir
Kertajaya (1216 - 1222). Pada masa ini pusat kekuasaan beralih ke Daha /
Jenggala sedangkan daerah Malang menjadi sebuah wilayah setingkat
Kadipaten yang maju dan besar terutama sebagai dalam bidang keagamaan
dan perdagangan, dipimpin oleh seorang Akuwu.
MASA KERAJAAN SINGOSARI
Singosari
dikenal sebagai salah satu kerajaan terbesar di tanah Jawa yang disegani
diseluruh Nusantara dan manca negara. Singosari semula adalah sebuah
Kadipaten dibawah kekuasaan Raja Kediri yaitu Kertajaya. Kadipaten
tersebut bernama Tumapel dipimpin oleh Akuwu Tunggul Ametung yang
kemudian direbut kedudukannya oleh Ken Arok. Ken Arok kemudian
mengembalikan pusat kekuasaan ke daerah Malang setelah Kediri
ditaklukkan. Selama 7 generasi Kerajaan Singosari berkembang pesat
hingga menguasai sebagian besar wilayah Nusantara. Bahkan Raja terakhir
yaitu Kertanegara mempermalukan utusan Maharaja Tiongkok Kubhilai Khan
yang meminta Singosari menyerahkan kekuasaannya.
Singosari jatuh ketangan Kediri ketika sebagian besar pasukan
Kertanegara melakukan ekspedisi perang hingga ke Kerajaan Melayu dan
Sriwijaya. Namun tidak lama kemudian pasukan Kediri berhasil dipukul
mundur oleh keturunan Kertanegara yaitu Raden Wijaya yang kemudian
dikenal sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. Pada saat yang hampir
bersamaan Raden Wijaya juga harus menghadapi serbuan dari armada
Tiongkok yang menuntut balas atas perlakuan Raja Singosari sebelumnya
(Kertanegara) terhadap utusannya. Armada Tiongkok inipun berhasil
dikalahkan oleh Raden Wijaya berkat bantuan dari Penguasa Madura yaitu
Arya Wiraraja.
MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan Majapahit mencapai masa keemasan ketika dipimpin oleh Hayam
Wuruk dengan patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa.
Majapahit menaklukkan hampir seluruh Nusantara dan melebarkan sayapnya
hingga ke seluruh Asia Tenggara. Pada masa ini daerah Malang tidak lagi
menjadi pusat kekuasaan karena diduga telah pindah ke daerah Nganjuk.
Menurut para ahli di Malang ditempatkan seorang penguasa yang disebut
Raja pula.
Dalam Negara Kertagama dikisahkan
Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya
(yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken
Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun
Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para
leluhur yang dipuja sebagai Dewa. Beberapa prasasti dan arca peninggalan
Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga
di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo - Tengger -
Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya
keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa
disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang
saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7
abad.
ASAL USUL NAMA KOTA MALANG
Nama Batara Malangkucecwara disebutkan dalam Piagam Kedu (tahun 907) dan Piagam Singhasari (tahun 908). Diceritakan bahwa para pemegang piagam adalah pemuja Batara (Dewa) Malangkucecwara, Puteswara (Putikecwara menurut Piagam Dinoyo),
Kutusan, Cilahedecwara dan Tulecwara. Menurut para ahli diantaranya
Bosch, Krom dan Stein Calleneis, nama Batara tersebut sesungguhnya
adalah nama Raja setempat yang telah wafat, dimakamkan dalam Candi
Malangkucecwara yang kemudian dipuja oleh pengikutnya, hal ini sesuai
dengan kultus Dewa - Raja dalam agama Ciwa.
Nama
para Batara tersebut sangat dekat dengan nama Kota Malang saat ini,
mengingat nama daerah lain juga berkaitan dengan peninggalan di daerah
tersebut misalnya Desa Badut (Candi Badut), Singosari (Candi Singosari).
Dalam Kitab Pararaton juga diceritakan keeratan hubungan antara nama
tempat saat ini dengan nama tempat di masa lalu misalnya Palandit (kini Wendit) yang
merupakan pusat mandala atau perguruan agama. Kegiatan agama di Wendit
adalah salah satu dari segitiga pusat kegiatan Kutaraja pada masa Ken
Arok (Singosari - Kegenengan - Kidal - Jago : semuanya berupa candi).
Pusat mandala disebut sebagai panepen (tempat menyepi) salah satunya disebut Kabalon (Kebalen di masa kini).
Letak Kebalen kini yang berada di tepi sungai Brantas sesuai dengan
kisah dalam Pararaton yang menyebut mandala Kabalon dekat dengan sungai.
Disekitar daerah Kebalen - Kuto Bedah - DAS Brantas banyak dijumpai gua
buatan manusia yang hingga kini masih dipakai sebagai tempat menyepi
oleh pengikut mistik dan kepercayaan. Bukti lain kedekatan nama tempat
ini adalah nama daerah Turyanpada kini Turen, Lulumbang kini Lumbangsari, Warigadya kini Wagir, Karuman kini Kauman.
Pararaton ditulis
pada tahun 1481 atau 250 tahun sesudah masa Kerajaan Singosari
menggunakan bahasa Jawa Pertengahan dan bukan lagi bahasa Jawa Kuno
sehingga diragukan sebagai sumber sejarah yang menyangkut pemerintahan
dan politik. Penulisan Pararaton sudah .
Namun
pendekatan yang dipakai para ahli dalam menyelidiki asal usul nama Kota
Malang didasarkan pada asumsi bahwa nama tempat tidak akan jauh berubah
dalam kurun waktu tersebut. Hal ini bisa dibuktikan antara lain dari
nama Kabalon (tempat menyepi) ternyata juga disebutkan dalam Negara
Kertagama. Dalam kitab tersebut dikisahkan bahwa puteri mahkota Hayam
Wuruk yaitu Kusumawardhani (Bhre Lasem) sebelum menggantikan ayahnya terlebih dahulu menyepi di di Kabalon dekat makam leluhurnya yaitu Ken Arok atau Rangga Rajasaalias Cri Amurwabumi. Makam Ken Arok tersebut adalah Candi Kegenengan.
Namun istilah Kabalon hanya
dikenal dikalangan bangsawan, hal inilah yang menyebabkan istilah
Kabalon tidak berkembang. Rakyat pada masa itu tetap menyebut dan
mengenal daerah petilasan Malangkucecwara dengan nama Malang hingga
diwariskan pada masa sekarang.
MASA KOLONIAL
Setelah kemunduran Kerajaan Majapahit yang terdesak oleh Kerajaan
Mataram Islam, daerah Malang semakin ditinggalkan bahkan dijauhi karena
kultus Dewa - Raja dan agama Hindu bertentangan dengan ajaran Islam.
Peninggalan peradaban Hindu - Ciwa tidak lagi diperhatikan karena sisa
pengikut Kerajaan Majapahit yang memeluk agama Hindu Ciwa menyingkir ke
daerah Tengger dan keturunannya dikenal sebagai masyarakat Tengger
sekarang.
Kedatangan bangsa kulit putih antara lain Portugis, Belanda dan Inggris
pada akhirnya mengakibatkan kemunduran Kerajaan mataram sehingga
Nusantara jatuh kedalam masa penjajahan. Dalam masa pertengahan
penjajahan menurut Buku History of Java karangan Gubernur Jenderal
Raffles (1812), Malang merupakan daerah perkebunan dibawah Kabupaten
Pasuruan. Malang berkembang pesat setelah ada jalur kereta api dan
dibukanya berbagai perkebunan terutama tebu untuk industri gula. Sampai
saat ini dua pabrik gula peninggalan kolonial masih beroperasi yaitu PG.
Krebet Baru dan PG. Kebon Agung.
MASA KEMERDEKAAN
Pada masa
sesudah Proklamasi Kemerdekaan di Malang didirikan Pemerintah Daerah
Sementara dan pada masa Perang Kemerdekaan (Clash I 1947 dan Clash II
1949) daerah Malang menjadi basis perjuangan baik politis maupun
gerilya.
Berbagai
pasukan antara lain TGP dan pasukan Hamid Rusdi sangat terkenal dengan
kegigihan dan keberaniannya. Salah satu pertempuran dahsyat dalam
mempertahankan Kota Malang yang selalu dikenang adalah front Jalan Salak
(kini Jalan Pahlawan Trip). Pada saat itu gugur 35 orang anggota
Brigade 17 Detasemen I Trip Jawa Timur. Di bekas lokasi pertempuran
tersebut kini didirikan Monumen dan Makam Pahlawan Trip. Makam Pahlawan
yang lain terletak di Jalan Veteran tidak jauh dari Jalan Pahlawan Trip.
MASA ORDE LAMA
Pergolakan
politis pada akhir masa Orde Lama juga terjadi di Malang karena
aktifitas PKI / Komunis cukup banyak mempengaruhi masyarakat terutama
golongan pemuda. Terjadi rapat2 umum, demonstrasi, kerusuhan dan
bentrokan fisik antara pendukung Komunis dengan pendukung Pancasila,
salah satunya yang terkenal adalah penyerbuan Gedung Sarinah sekarang.
Akhirnya kelompok Komunis dapat dikalahkan dan melarikan diri ke daerah
Blitar sehingga dilakukan operasi militer Sandhi Yudha yang mengakhiri
petualangan Komunis di Indonesia.
MASA ORDE BARU
Kota Malang berkembang pesat pada masa Orde Baru berkat perkembangan
perekonomian yang semakin baik dan semangat masyarakat yang kuat untuk
meraih hari depan yang lebih baik. Berbagai kegiatan pembangunan di
segala bidang terus dilakukan dan memberikan hasil yang memuaskan.
MASA REFORMASI
Malang
sebagai Kota Pendidikan juga menjadi salah satu barometer aksi yang
menggulirkan reformasi. Ribuan Pelajar dan Mahasiswa turun ke jalan
untuk memperjuangkan hak rakyat dan prinsip demokrasi hingga berhasil.
Dan perjuangan terus dilanjutkan di daerah antara lain dengan
mengupayakan pemilihan Pimpinan Daerah (Walikota) yang demokratis.
0 komentar:
Posting Komentar